Pagar Sekolahan

Pagar Sekolahan

Hasil Pencarian Pagar Besi Pagar Lipat Jendela

Maaf, barangnya tidak ketemu

Coba cek lagi kata pencarianmu.

Fiber Pagar Tinggi 1 Meter x 0.5 mm Teksture cream Per Meter Depok Plastik Penutup Pagar Pelapis Tekstur krem 1 x 1 Meter X 0.5 mm Depok

Jual 1 Mtr Plastik Fiber Pagar Motif Garis Cokelat Plat Tutup Penutup Pagar

Fiber Pagar Motif Penutup Plastik Meteran Goldfinc

Fiber Plastik Penutup Pagar Motif Golden Rumah

Fiber Plastik Penutup Pagar Motif Fancy Rumah

Fiber Plastik Penutup Pagar Motif Minimalis Rumah

Fiber Pagar Motif Penutup Plastik Meteran Ikan Koi

Plat Pagar Fiber Plastik Penutup Pagar Motif Golden Flower

Fiber Pagar Motif Penutup Plastik Meteran Magnolia

Jual 50 cm Plastik Fiber Pagar Motif Elegan Putih Plat Tutup Penutup Pagar

ANGGOTA DPR hasil Pemilu 1987 nampak berwarna sendiri. Belum dua tahun bertugas, parlemen baru ini sudah banyak menghasilkan berita besar: suaranya cukup lantang. Yang menarik: sumbernya dari fraksi yang mewakili Golkar dan ABRI. Fraksi ABRI, misalnya, kini jadi pionir keterbukaan, sejak bulan lalu. Fraksi Karya Pembangunan bersuara mempersoalkan naiknya tarif listrik. Toh kritik dan keberatan fraksi mayoritas ini ternyata tak membuat Pemerintah mengubah kebijaksanaannya, hingga kembali soal lama diungkit: tak berdayakah DPR? Jawabnya ternyata panjang. Sebab, persoalan pokok memang akhirnya kembali kepada pertanyaan apa tugas dan wewenang lembaga legislatif ini. "Menurut UUD 45, ada tiga jenis kekuasaan yang melekat pada DPR," kata Fatimah Ahmad, S.H., Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI) di DPR. Yakni kekuasaan mengontrol anggaran, pembuatan undang-undang, dan pengawasan jalannya pemerintahan. Namun, pelaksanaan kekuasaan itu ada batas-batasnya. Adanya kekuasaan di bidang anggaran bukan berarti DPR dapat menyetop dana Pemerintah. Sebab, bila DPR tak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan Pemerintah, menurut UUD, kata Fatimah, Pemerintah dapat menyusun anggaran seperti tahun sebelumnya. Ini memang berbeda dengan sistem yang berlaku di Amerika Serikat, misalnya. Di AS, tahun 1986, pemerintah terpaksa meliburkan kantornya selama dua hari karena para wakil rakyat di Kongres tak menyetujui rancangan anggaran yang diajukan pemerintah. Untunglah, kompromi kemudian ada. Nasib serupa pernah juga dialami Pemerintah Indonesia. DPR hasil pemilu 1955, berdasarkan UUDS 1950, tak menyetujui anggaran yang diajukan Presiden Soekarno. Akibatnya, dengan dalih demi keamanan negara, Presiden Soekarno pun membubarkan DPR dan membentuk DPR "Gotong Royong" di bawah doktrin "demokrasi terpimpin". Kejadian macam ini memang bukan mustahil. Ahli hukum Prof. Dr. Soepomo, tokoh penting dalam rancangan UUD dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Agustus 1945, sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Ketika itu Bung Karno, sebagai ketua PPKI, mengusulkan Bab VIII Pasal 23 ayat 1 yang berbunyi: "Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang". Soepomo langsung mengajukan usul tambahan yang berbunyi: "Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu." Dari sini, seperti juga dari banyak kesempatan, nampak bahwa perbincangan para anggota PPKI dalam merumuskan UUD 1945 itu dilandasi keyakinan yang kuat bahwa pimpinan negara adalah tokoh yang dapat -- dan harus -- dipercaya. Demikian kuatnya tendensi itu hingga dalam salah satu pernyataannya Soepomo mengatakan, jika ada menteri yang tidak disukai DPR, ia berkeyakinan menteri itu akan mengundurkan diri untuk menunjukkan sikap kenegarawanannya. Ini memang sangat berlainan dengan semangat yang berlangsung ketika para Bapak Bangsa Amerika merumuskan konstitusinya. Tendensi di sana adalah tendensi untuk tak mudah percaya kepada kekuasaan yang terpusat pada satu orang. Bahkan selama 13 tahun pertama negara ini berlangsung tanpa kehadiran seorang presiden. Tugas pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh pimpinan Kongres. Kecenderungan di Indonesia yang teramat percaya kepada eksekutif itu kemudian sesudah 1950-an dipertegas dengan kecenderungan yang kurang percaya kepada wakil rakyat. Terutama karena eksperimen yang gagal dengan demokrasi parlementer ala negeri Eropa Barat, dengan kabinet yang gampang jatuh. Klimaksnya adalah kegagalan Konstituante mendapatkan kesepakatan untuk menyusun konstitusi. Trauma ini masih membayang ketika Orde Baru mulai berdiri tahun 1967. Serangkaian peraturan membatasi ruang gerak para anggota DPR. Misalnya peraturan tata tertib DPR dan UU No. 3 Tahun 1985, yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk membekukan pengurus tingkat pusat organisasi politik dan Golkar. Kehadiran UU ini, seperti pernah dilontarkan Wakil Ketua MPR Soeprapto, menyebabkan anggota DPR sering merasakan beban psikologis untuk menyatakan pendapat. Di situ sikap tiap anggota DPR dikoordinasikan oleh fraksinya dan fraksi diawasi oleh organisasi politik induknya. Dengan adanya hak recall (memanggil kembali) pada organisasi induk, anggota DPR bisa mudah dicopot dari kursinya setelah permohonan diajukan ke Presiden. Hal ini, menurut Soeprapto, menyebabkan organisasi politik harus mengadakan perhitungan "untung rugi" bila berhadapan dengan Pemerintah. Tentang lambannya DPR ini, Benyamin Paulus Messakh, S.E., Wakil Sekretaris FKP Bidang Ekonomi dan Keuangan, punya pendapat lain. "Jika pemilu menghasilkan mayoritas mutlak, DPR yang muncul pasti tidak bersemangat menggebu-gebu," katanya. Sebab, DPR itu jelas akan mendukung Pemerintah. "Jadi, tak akan bertabrakan dengan Pemerintah," katanya. Bukan berarti perbedaan pendapat dihilangkan dalam kelompok mayoritas mutlak itu. "Hanya saja, perbedaan pendapat didiskusikan dalam fraksi dan yang disuarakan keluar adalah suara fraksi," katanya menjelaskan. Sebab itu, kata Messakh pula, sulit mengharapkan DPR akan bersuara "lantang terus-menerus." Namun, pendapat yang diajukan Messakh agaknya melupakan fungsi DPR sebagai pentas politik: sebuah arena pertunjukan bagaimana sebuah keputusan diambil melalui debat yang bermutu hingga hasil keputusannya dimengerti dan diterima rakyat banyak. Tapi barangkali Golkar memang belum siap mementaskan pertunjukan yang bermutu? Tak jelas. Yang pasti, keluhan tentang kualitas para anggota DPR sering terdengar. Jenderal L.B. Moerdani, misalnya, pernah berbicara tentang kurangnya kemampuan anggota DPR menjalankan tugas. Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I bulan Februari tahun lalu, Jenderal Moerdani -- ketika itu masih menjabat sebagai Panglima ABRI -- mengatakan sering anggota DPR berkunjung ke daerah tanpa persiapan. Bahkan dalam acara dengar pendapat pun, "saya kadang kala heran," kata Jenderal Moerdani. Kenapa? "Kami siap dengan 50 pertanyaan," katanya, tapi yang tanya ternyata cuma 6, 7, atau 8 orang. Paling banyak, dalam catatan Moerdani, hanya ada 17 pertanyaan. Yang juga sering ditunjuk sebagai bukti bahwa kualitas anggota DPR belum memadai adalah ketidakmampuan lembaga ini menggunakan hak inisiatifnya. Alasan tersedia juga di sini. "Soalnya, kami tak punya perpustakaan yang memadai, tak punya data dan tak memiliki staf ahli," kata Fatimah Ahmad. Seorang anggota DPR yang berpenghasilan sekitar Rp 1,1 juta sebulan -- termasuk uang sidang Rp 9.000 sehari -- memang tak dapat terlalu banyak bergerak. Sebab, setelah dipotong cicilan mobil, rumah, iuran fraksi, dan sebagainya, hanya tinggal sekitar Rp 450.000 sebulan, yang harus disisihkan lagi untuk membayar air, listrik, dan telepon. Sebab itu, pernah timbul ide untuk melengkapi fraksi dengan staf ahli. Tapi yang didrop pada masa bakti 1982-1987 ke F-KP ternyata adalah 60 tenaga sekretaris. Dan untuk perlengkapan kantor, seperi komputer, FKP terpaksa mengupayakannya sendiri. FKP sebenarnya terhitung kaya dibandingkan F-PP dan F-PDI. Tapi tak ada apa-apanya dibandingkan mitra mereka di Amerika Serikat. Senator Lugar di AS, misalnya, mempunyai 58 staf. Sebagian di antaranya bertugas khusus menjawab surat para pemilihnya. Maklum, rata-rata senator ini menerima 300 surat setiap hari. Di Jepang, negara hanya menyediakan 2 orang staf untuk setiap anggota parlemen. Ini dianggap tidak cukup, sehingga banyak yang mengeluarkan uang dari koceknya untuk membayar staf tambahan yang rata-rata 18 orang. Tak heran jika kebutuhan seorang anggota parlemen partai LDP Jepang diperkirakan sekitar Rp 1,5 milyar setahun, sementara gajinya cuma sekitar Rp 200 juta. Hasil sampingannya: godaan menerima amplop dari luar. Ada bisik-bisik di kalangan swasta bahwa mereka pun harus menyediakan amplop buat para wakil rakyat yang berkunjung, seperti halnya ada amplop buat wartawan. Ini belum menyebabkan skandal seperti di Jepang. Dan memang belum jelas betul berapa kebutuhan seorang anggota DPR agar dapat menjalankan fungsinya secara penuh. Yang jelas, fasilitas perpustakaan dengan 250 ribu buku yang disediakan khusus untuk para wakil rakyat ini ternyata sepi dari kunjungan mereka. Tahun lalu, misalnya, hanya tercatat 80 anggota DPR yang meminjam 158 buku. Ini pun sudah sebuah lonjakan dibandingkan tahun 1986, ketika hanya 40 anggota DPR meminjam 84 buku. Sehingga, berbagai buku sumbangan Asia Foundation, British Council, dan berbagai lembaga lainnya itu seperti mubajir. "Yang paling banyak meminjam justru dari Fraksi ABRI," kata kepala perpustakaan, Aurora Simanjuntak. Selain itu, kesadaran dokumentasi para anggota kelihatannya masih miskin. "Untuk mendapatkan peraturan yang dikeluarkan atau pembicaraan dua kamar saja, kita harus mengemis-ngemis dan membayar," kata Aurora mengeluh. Ben Messakh punya alasan mengapa ia tak pernah mengunjungi perpustakaan yang sudah berdiri sejak zaman Volksraad di tahun 1816 itu. Soalnya, buku-buku yang tersedia dianggapnya sudah ketingalan zaman. "Karena itu, saya cuma mengirimkan staf saya kalau memerlukan dokumen undang-undang," kata anggota DPR yang mengaku memiliki koleksi buku pribadi yang lengkap ini. Mungkin Messakh benar: perpustakaan DPR belum punya koleksi yang fungsional. Tapi belum jelas mengapa sebenarnya para wakil rakyat jarang berkunjung ke perpustakaan DPR. Sebab, jika dilihat dari latar belakang pendidikan, 45,6% anggota DPR berpendidikan sarjana. Yang paling rendah pendidikannya adalah setingkat SMP: jumlahnya 39 orang alias hanya 7,8%. T

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini